Selasa, 19 Mei 2015

Puisi Tentang sebuah gerakan Karya Wiji Thukul (Kajian Stilistika)

Proses perlawanan terhadap kekuasaan penindas rakyat orde baru;
Tentang Sebuah Gerakan Karya Wiji Thukul (Kajian Stilistika)
Oleh :
Herlingga.HD[1]

aku berpikir tentang gerakan
tapi mana mungkin
kalau diam?
(Tentang sebuah gerakan, 1989)

A. Pengantar
            Puisi-puisi karya Wiji thukul mencoba untuk menguak kesewenang-wenangan pemerintah, menguak kehidupan yang terjadi di masyarakat tempat pengarang tinggal serta lingkungan sekitarnya. Membuka kehidupan yang terjadi dalam masyarakat akibat tindakan kelompok-kelompok  pemegang kuasa pada masa Orde Baru. Dari kumpulan puisi ini pun, terdeteksi  bahwa sebagian besar rakyat telah menjadi korban (termasuk pengarang) atas tindakan otoriter pemerintahan Orde Baru. Hal tersebut yang mengakibatkan permasalahan sosial, seperti yang telah ditulis oleh Wiji Thukul. Puisi-puisi Wiji Thukul adalah balutan karya yang lahir lewat rahim fiksi melalui perkawinan realitas yang menyakitkan dan sewenang-wenang.
Wiji Thukul, muncul dalam sebuah ruang yang khusus di tengah wacana kekerasan yang menekannya selama puluhan tahun. Ia adalah seorang yang gigih dalam memperjuangkan gagasan-gagasannya maupun dalam memperjuangkan hidup dan kebenaran-kebenaran yang diyakininya. Dan, itu semua bukan ditujukan semata-mata untuk dirinya melainkan juga untuk memperjuangkan “pembebasan” bagi bangsanya. Bebas dari kemiskinan, tekanan, dan penindasan yang telah dilakukan oleh bangsanya sendiri. Dalam perjuangannya ini ia menggunakan caranya sendiri, yaitu dengan menggunakan ‘senjata kata-kata’. Kekerasan tidak dibalasnya dengan kekerasan melainkan dikritisi dengan sebuah kecerdasan yang dirangkai dalam kata-kata sederhana, lugas, dan tegas namun tetap indah dan puitis. Dalam proses kreatifnya itu, puisi menjadi media yang mampu menyampaikan permasalahan dan mewakili suara kaum tertindas pada umumnya[2]. Rezim Orde Baru cukup jauh dari sifat demokratis, karena peran serta rakyat dalam pengambilan keputusan negara sangat dibatasi. Di atas segalanya, hanya satu orang, yakni Presiden Soeharto yang memimpin Orde Baru selama lebih dari tiga dekade dengan kekuasaan yang sangat besar[3]. Selama periode 1988–1995, pemerintah dapat dikatakan telah melaksanakan politik yang tertutup karena sedikit pun tak memberikan ruang dan peluang bagi refleksi dan koreksi atasnya, politik resmi pun berjalan bagaikan robot[4]. Orde Baru telah meninggalkan sisa-sisa kenangan yang kelam. Kasus penggusuran tanah di berbagai daerah telah menjadikan rakyat menjadi korban gusuran dengan motif umum, antara lain untuk mendirikan pabrik, pangkalan militer, dan waduk.  Selain itu, yang tak kalah hebatnya adalah mengenai korupsi yang dilakukan Soeharto beserta kroni-kroninya[5]. Dari gambaran di atas kita dapat menemukan bahwa Orde Baru telah banyak menyengsarakan rakyat dan berusaha mematikan suara bangsa ini. Dari situ kita dapat melihat bahwa Orde Baru telah melakukan ‘kekerasan’ terhadap bangsa ini dalam kurun waktu yang cukup lama (32 tahun). Rakyat menjadi korban dan selalu berada di bawah.
            Salah satu puisi yang dibuat oleh Wiji Thukul yang berjudul tentang sebuah gerakan merupakan ungkapan untuk membuka pandangan masyarakat agar melakukan pergerakan atas tindakan otoriter pemerintahan Orde baru. Materi-materi yang dituliskan dalam puisi tersebut dapat diketahui, bahwa ada unsur tarik menarik antara kepentingan rakyat dan penguasa. Sedangkan, penguasa pada saat itu, melakukan praktik otoriter kekuasaan, sehingga rakyat  pun tidak bisa hidup secara normal, bahkan selalu diganggu keberadaannya[6]. Dari permasalahan permasalahan tersebut Wiji Thukul ingin melakukan perlawanan dengan salah satu cara yaitu menyuarakan kritiknya menggunakan alat yang berupa puisi.

B. Analisis Puisi Tentang sebuah gerakan karya Wiji Thukul : Kajian Stilistika
Puisi Tentang sebuah gerakan (kemudian disingkat TSG) karya Wiji Thukul (WT) ini dibuat saat masa pemerintahan orde baru tahun 1989 di Solo).

tadinya aku pengin bilang
aku butuh rumah
tapi lantas kuganti
dengan kalimat:
setiap orang butuh tanah
ingat: setiap orang!

aku berpikir tentang
sebuah gerakan
tapi mana mungkin
aku nuntut sendirian?

aku bukan orang suci
yang bisa hidup dari sekepal nasi
dan air sekendi
aku butuh celana dan baju
untuk menutup kemaluanku

aku berpikir tentang gerakan
tapi mana mungkin
kalau diam?

(Puisi Tentang sebuah gerakan, 1989)

Stilistika adalah ilmu yang meneliti penggunaan bahasa dan gaya bahasa didalam karya sastra[7].            Sehingga stilistika digunakan untuk mempelajari gaya berbahasa, penyampaian gagasan dan untuk mempelajari penyampaian style atau gaya bahasa yang digunakan oleh pengarang. Dalam stilistika terdapat berbagai unsur yang terkandung. Pembahasan tulisan ini terkait mengenai Simbol dalam karya sastra.
Istilah bentuk simbolik dapat dihubungakan dengan istilah figure. Figure menyangkut perihal penataan, pembentukan pengurutan unsur-unsur kebahasaan dalam penyampaian gagasan[8]. Sebab itu sebagaimana bentuk simbolik, figure akhirnya juga terkait dengan bentuk pengolahan gagasan, pemilihan kata, kombinasikata-kata dalam konstruksi tertentu, pengulangan, dan pemindahan ciri semantis sebagaimana terdapat dalam metafora. Du Marsaus dalam hal ini mengklasifikasikan figure dalam bentuk diagram sebagai berikut.
 








1. Figures of thought
Merujuk pada cara menampilkan gagasan secara lebih kaya dan mendalam. Dalam puisi TSG Karya Wiji Thukul, isi atau makna yang ingin disampaikan merupakan respon sosial pengarang terhadap ketidakadilan sosial yang terjadi di masyarakat dan sebagai penutup puisi ini penyair menyerukan pemberontakan dan  perlawanan terhadap kesewenang-wenangan pemerintah. Terlihat dari penggalan puisi WT, aku berpikir tentang gerakan, tapi mana mungkin, kalau diam?. WT menyampaikan protes terhadap kebijakan pemerintah dan menyerukan pada setiap orang untuk melakukan gerakan atas kesewenang-wenangan pemerintahan orde baru. aku butuh rumah, tapi lantas kuganti, dengan kalimat: setiap orang butuh tanah. WT tampak menginginkan puisinya dapat dijadikan bahan perenungan oleh siapapun yang membacanya. WT cenderung menuliskan pengalaman sehari-hari yang sangat dekat dan melekat dengan kehidupan nyata.
            Dari puisi TSG juga terlihat bahwa WT memikirkan sebuah gerakan yang harus dilakukan atas kesewenang-wenangan yang terjadi pada pemerintahan orde baru. WT mencoba membangkitkan semangat dan memberikan propaganda untuk melawan penguasa. WT menyerukan agar rakyat-rakyat yang tertindas untuk bergabung bersama-sama melawan penguasa. Dalam perspektif ini WT beranggapan bahwa ketika meraka bersatu penguasa akan lebih takut. Aku berpikir tentang sebuah gerakan tapi mana mungkin aku nuntut sendirian? Penggalan puisi tersebut tidak hanya menyuarakan kesengsaraan rakyat jelata, tetapi juga membangkitkan semangat untuk melawan ketidakadilan itu. Sajak-sajaknya bukan semata-mata hardikan pada kekuasaan, tetapi juga jalan keluar bagi orang yang di tindas, jalan yang tidak disukai penguasa yakni jalan melawan.

2. Figures of words
Figures of words menyangkut perihal pemilihan, pembentukan, penggunaan, dan penghubungan unsur kebahasaan berupa kata-kata dalam berbagai tatarannya. Terdapat beberapa jenis figures of words yang meliputi figures of diction, figures of contruction, figures as repetition dan figures of tropes.
a.       Figures of diction
Merupakan bentuk pemilihan kata-kata yang dapat membuahkan gagasan tertentu, nuansa pengertian lain, susasana tertentu, maupun berbagai kemungkinan efek lain sesuai dengan intensi penuturnya. Sehinggga pemilihan kata dalam membuat puisi harus dilakukan secara padat, selaras dan cermat oleh pengarang sehingga menimbulkan nuasa yang imajinatif[9]. Puisi Tentang sebuah gerakan karya Wiji Thukul ini dilatarbelakangi oleh dunia orde baru yang menceritakan sebuah perjuangan pengarang untuk melakukan perubahan terhadap masa nya yang menjadi kecenderungan tematik puisi tersebut adalah semangat nasionalisme. Puisi diatas menggambarkan bagaimana seorang tokoh WT berasal masyarakat kelas bawah yang memperjuangkan kebebasan masyarakat di tanah airnya. WT dalam puisi TSG banyak memanfaatkan kata konotatif. Pemanfaatan kata konotatif ataupun bahasa kias sengaja dilakukan untuk menyatakan sesuatu secara tidak langsung[10]. Hal tersebut dapat dilihat pada kalimat berikut, aku bukan orang suci, yang bisa hidup dari sekepal nasi, dan air sekendi, aku butuh celana dan baju, untuk menutup kemaluanku. Simbol sekepal nasi dan air sekendi menandakan bahwa manusia tidak hanya membutuhkan hal tersebut untuk hidup, hak-hak lainnya juga diperlukan untuk menunjangnya. WT menggunakan simbol-simbol yang ada dalam masyarakat dengan cukup cermat dan bukan berarti harus dibuat-buat, melainkan menggunakan simbol yang telah ada dan hidup dalam masyarakatnya (orang suci, sekepal nasi, air sekendi). Simbol-simbol tersebut muncul dari keprihatinan dasar dan pengalaman masyarakat yang hak nya kurang diperhatikan. Akhirnya, puisinya tampak begitu sederhana, tegas, dan lugas dan justru di situlah letak kekuatannya. Pembebasan terjadi melalui simbol, yang mengungkap makna dan menunjukkan realita yang sesungguhnya bahwa manusia hidup tidak hanya membutuhan makan dan minum, tetapi juga membutuhkan hal lain seperti pakaian dan sebagainya. Sehingga simbol simbol dari kiasan yang digunakan WT tergolong sederhana karena memang untuk memudahkan pembaca dalam memaknai puisi yang dituliskannya. Karena pada dasarnya puisi ini ditujukan untuk pembaca pada kalangan rakyat kecil sehingga penggunaan diksi pada kalimat puisi ini menggunakan pemakaian diksi yang sederhana agar mudah untuk dipahami.
setiap orang butuh tanah
ingat: setiap orang!
Kelugasan kalimat dalam setiap baitnya timbul karena WT ingin permasalahan permasalahan yang diangkat mampu menyadarkan dan mewakili suara kaum tertindas pada umumnya untuk bisa bangkit dan melakukan sebuah pergerakan baru. WT dengan berani dan penuh dengan semangat tak tanggung-tanggung mengajak rakyat atau siapapun itu untuk menentang para penguasa. Jadi ketepatan dan kesesuaian kata tersebut sangat penting dalam suatu karya sastra agar pesan yang disampaikan penulis dapat dimengerti oleh pembaca.
b.      Figures of contruction
Figures ini merupakan cara menyusun satuan unsur kebahasaan berupa kalimat atau satuan unsur yang dapat dianalogikan sebagai saran berupa kalimat atau satuan unsur yang dapat dianalogikan sebagai kalimat. Bentuk yang ekspresif dan kepadatan kalimat sangat diperlukan dalam karya sastra khususnya puisi. Hal itu mengingat bahwa dalam puisi hanya inti gagasan atau penggalan batin yang dikemukakan. Hanya yang penting substansi saja yang dikemukakan dalam puisi. Oleh karena itu hubungan antarkalimat dinyatakan secara impliisit agar kalimat-kalimat dalam baris puisi benar-benar padat, plastis, efektif dan imajinatif. Gaya demikian menurut Pradopo disebut gaya implisit[11].
Kepadatan gaya kalimat yang implisit terdapat dalam bait 1 yang bisa disisipkan kata “yaitu”, “kawan” dan “sebuah” supaya lebih jelas maksud yang akan disampaikan penyair. Akan tetapi kalimat itu sengaja diimplisitkan penyair, supaya lebih efektif dan menarik pembaca.
tadinya aku pengin bilang (yaitu)
aku butuh rumah
tapi lantas kuganti
dengan kalimat : (sebuah)
setiap orang butuh tanah
ingat: setiap orang!
           Puisi TSG memiliki hubungan fungsional yang saling mendukung antara satu bait puisinya. Setiap baitnya memiliki kata hubung yang saling mendukung atau berhubungan untuk memperkuat makna yang ingin disampaikan oleh WT.
c.       Figures of repetition
Figures merujuk pada gaya pengulangan, baik itu pengulangan kata frase, maupun kalimat. Dari kalimat-kalimat puisi yang dimunculkan WT terdapat pengulangan kata yang digunakan untuk memberikan penekanan terhadap makna yang akan disampaikan oleh pengarang. Pada bait pertama kata setiap orang dilakukan pengulangan kata, penekanan pada bait ini ditujukan untuk setiap orang, keinginan dari setiap orang dalam tuntutan yang disampaikan WT pada masa orde baru tersebut. Pengulangan kata selanjutnya pada kata gerakan, WT menekankan pada sebuah gerakan dalam puisi ini, gerakan dimana untuk tidak tunduk atas kesewenang-wenangan pemerintah pada masa itu. Pengulangan selanjutnya pada kata aku berpikir tentang sebuah gerakan, disini WT menekankan pemikirannya untuk melakukan gerakan yang dimana gerakan tersebut dapat memunculkan perlawanan terhadap penindasan dimasa orde baru. WT merasa bahwa Orde Baru telah banyak menyengsarakan rakyat dan berusaha mematikan suara bangsa ini. Sehingga dari sini lah seharusnya kita melakukan gerakan untuk memperjuangkan hak hak tersebut. Penggunaan pengulangan kata “gerakan” ini yang menjadi penekanan utama dalam puisi TSG ini. 
d.      Figures of tropes
Figure ini merujuk pada apa yang lazim disebut dengan metafora, sinekdok, metonimi, dan lain sebagainya. Pada puisi TSG ini terdapat majas metafora, yaitu majas yang menyamakan satu hal dengan tidak menggunakan kata-kata pembanding seperti : bagai, sebagai, seperti, semisal, seumpama, laksana, ibarat, bak dan kata-kata pembanding lainnya[12]. Hal ini terdapat pada bait aku bukan orang suci, yang bisa hidup dari sekepal nasi, dan air sekendi, aku butuh celana dan baju, untuk menutup kemaluanku. Kata seperti menandakan metafora. Adapun majas ini berfungsi untuk membandingkan dua hal secara singkat dan mampu menggambarkan apa yang sedang terjadi atau mampu menggambarkan apa yang dibandingkan itu. WT dalam puisina TSG lebih cenderung menggambarkan secara singkat makna yang ingin disampaikannya. Dengan kelugasan tersebut diharapkan terjadinya perubahan pada pemerintahan orde baru.

Daftar Pustaka
Imron, Ali. 2012. Stilistika Teori, Metode, dan Aplikasi Pengkajian Estetika Bahasa. Surakarta: CakraBooks.
Aminuddin. 1995. Stilistika: Pengantar Memahami Bahasa Dalam Karya Satra. Semarang: IKIP Semarang Press.
Pabottingi, Mochtar. 1998. Orde ’Baru’ dalam Cengkeraman Asali (Online). Tersedia : http://www.tempointeraktif. com/ang/min/02/45/kolom8.htm. Diakses pada 11 Mei 2015.
Satoto, Sudiro. 1995. Stilistika. Surakarta: STSI Surakarta.
Widyartono, Didin. 2011. Pengantar menulis dan membaca Puisi. Malang: UM Press
Yapi, Yoseph Taum. Wiji Thukul: Setitik Cahaya Kebenaran (Online). Tersedia : http:// endonesa.net /articles. php? id=6&page=5. Diakses pada 11 Mei 2015.





[1] Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Uniersitas Brawiajay 2012
[2] Yoseph Yapi Taum, “Wiji Thukul: Setitik Cahaya Kebenaran” dalam http:// endonesa.net /articles. php? id=6&page=5.
[3] Ibid
[4] Mochtar Pabottingi, 1998, ”Orde ’Baru’ dalam Cengkeraman Asali” dalamhttp://www.tempointeraktif. com/ang/min/02/45/kolom8.htm.
[5] Ibid
[6] Ibid
[7] Satoto, 1995:6
[8] Aminuddin, 1995: 173
[9] Widyartono, 2011:11 
[10] Imron, 2012:152
[11] Ibid,hal 155
[12] Ibid, hal 70

Profesi : PWRI sebagai garda wartawan

PWRI SEBAGAI GARDA WARTAWAN
(Dasar-dasar, Implementasi dan Kegiatan)
Oleh : Herlingga.HD[1]

A. Pengantar
Media massa merupakan sesuatu yang penting bagi kehidupan manusia yang perkembangannya sudah sangat pesat di jaman sekarang. Masyarakat sekarang ini sangat terfasilitasi oleh media massa, baik media elektronik, cetak, maupun media online dalam mendapatkan informasi jenis apapun, politik, ekonomi, seni, budaya, hobi dan sebagainya. Segala bentuk informasi yang dapat dinikmati dari media- media tersebut tak lepas dari perjuangan para pemburu berita yang mencari berita kapanpun dan dimana pun terjadinya sebuah peristiwa yang nantinya disampaikan pada masyarakat. Setiap harinya, pemburu berita ini menyajikan informasi-informasi terbaru sesuai dengan fakta yang ada secara lugas dan dapat dipercaya. Profesi para pemburu berita ini umumnya disebut sebagai wartawan.
Wartawan atau jurnalis adalah seorang yang melakukan jurnalisme, yaitu orang yang secara teratur menuliskan berita (berupa laporan) dan tulisannya dikirimkan atau dimuat di media massa secara teratur[2]. Kegiatan mencari berita, mengolah berita, menulis berita dan menyusun berita tersebut akhirnya menjelma atau menjadi sebuah profesi. Laporan yang ditulis wartawan tersubut dipublikasikan dalam media massa, seperti Koran, televise radio, majalah, film dokumentasi, dan internet. Wartawan mencari sumber mereka untuk ditulis dalam laporannya, dan mereka diharapkan menuliskan laporan yang paling objektif dan tidak memiliki pandangan dari sudut tertentu untuk melayani masyarakat.  Dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 1996 Pasal 1 dan 3 juga dengan jelas disebutkan bahwa: "Kewartawanan ialah pekerjaan/ kegiatan/ usaha yang berhubungan dengan pengumpulan, pengolahan dan penyiaran dalam bentuk fakta, pendapat, ulasan, gambar-gambar dan lain-lain sebagainya untuk perusahaan, radio, televisi dan film". Jadi wartawan adalah sebuah profesi yang penuh dengan etika dan tata cara maupun aturan dalam menjalankan tugasnya. Oleh karena itu, setiap orang yang melanggar aturan maupun kode etik tersebut dapat dikatakan bukan sebagai "wartawan" dan hasil karyanya pun bukan merupakan karya jurnalistik.
Sesuai dengan perkembangan kebutuhan akan informasi tersebut, maka jumlah para insan pers atau wartawan pun bertambah banyak yang terdiri dari berbagai golongan dan tingkat pendidikan serta disiplin ilmu. Oleh karenanya sangat perlu untuk mendapatkan pembinaan guna mempersamakan persepsi serta meningkatkan wawasan pengetahuan tentang ilmu jurnalistik. Sehingga dalam profesi wartawan ini memiliki wadah yang biasa disebut dengan Persatuan Wartawan Republik Indonesia (PWRI). Persatuan Wartawan Republik Indonesia (PWRI) adalah organisasi profesi bagi para insan pers yang dibentuk di Jakarta pada tanggal 3 Mei 2013, dengan tujuan guna meningkatkan perbaikan kualitas serta mengakomodir potensi insan pers yang selama ini terabaikan demi memantapkan diri melangkah di belantara  persaingan teknologi yang semakin canggih, maka dibentuklah Persatuan Wartawan Republik Indonesia[3].

B. Dasar-dasar Organisasi Wartawan
      Seperti yang dijelaskan dalam pengantar, wartawan sendiri memiliki sebuah wadah yang dinamakan Persatuan Wartawan Republik Indonesia atau disingkat dengan PWRI. Dalam pembentukan organisasi PWRI sendiri memiliki visi, misi dan tujuan terbentuknya organisasi ini. Telah tercantum dengan jelas dalam AD/ART PWRI bahwa visi, misi dan tujuannya adalah untuk meningkatkan kualitas profesi wartawan sebagai wartawan Republik Indonesia, membantu wartawan untuk dapat meningkatkan wawasan dan profesionalisme kewartawanan, membantu meningkatkan taraf hidup anggota, membantu pemerintah sebagai sosial kontrol baik dalam pembuatan kebijakan maupun ketika menjalankan kebijakan itu sendiri. Fungsi terbentuknya organisasi ini sebagai organisasi yang menaungi Profesi Wartawan Republik Indonesia. Kedua sebagai organisasi yang membantu anggotanya untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusianya baik secara material dan non material. Ketiga sebagai organisasi  yang berperan serta untuk  mensukseskan Pembangunan Nasional dan sesuai dengan Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 dan yang terakhir sebagai sarana komunikasi dan informasi[4]. Hal ini sesuai dengan penjelasan dari Bapak Indra selaku pimpinan Radio Andalus Malang dan juga anggota dari PWRI Malang yang menjelaskan bahwa seorang wartawan yang belum mendapatkan SK resmi, lulus ujian, penataran, bimbingan dan kegiatan-kegiatan lain yang diadakan  oleh PWRI maka wartawan tersebut bisa dikatakan wartawan gadungan. PWRI sendiri terdapat beberapa rangkaian kegiatan yang nantinya akan menyatakan wartawan tersebut lulus sebagai seorang wartawan. Pada perkembangannya sekarang banyak orang yang mengaku dirinya seorang wartawan, padahal untuk dikatakan sebagai wartawan haruslah memenuhi syarat dan menyetujui Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga serta tujuan PWRI dapat diterima menjadi anggota[5].  Sedangkan syarat untuk menjadi anggota sendiri tertuang pada Anggaran Rumah Tangga PWRI pasal 2 yang menjelaskan bahwa syarat anggota adalah warga Negara Indonesia yang telah berumur 17 (tujuh belas) tahun, dapat mengikuti kegiatan-kegiatan PWRI, menerima dan melaksanakan AD dan ART serta Program PWRI, menyampaikan permohonan lisan dan atau tulisan kepada Dewan Pimpinan Cabang yang bersangkutan, membayar uang pangkal dan uang iuran yang akan diatur dalam peraturan tersendiri, terdaftar dalam buku Induk Anggota di Dewan Pimpinan Cabang, dan mempunyai kartu anggota[6]. Organisasi PWRI ini tergolong sangat membantu untuk mengetahui mana wartawan yang sebenarnya dan gadungan. PWRI ini juga menggolongkan anggotanya menjadi dua yaitu anggota biasa dan anggota kehormatan. Anggota biasa ialah yang sudah memenuhi persyaratan sebagaimana yang telah disebutkan, sedangkan anggota kehormatan setiap orang yang dengan sukarela menyumbangkan bantuan moral maupun material untuk kemajuan PWRI. Seperti halnya organisasi lain, anggota PWRI dapat diberhentikan karena terbukti melakukan perbuatan yang bertentangan dengan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga PWRI dan/atau dengan sengaja tidak melaksanakan kewajibannya sebagai anggota dan/atau tidak loyal kepada pimpinan. Keputusan pemberhentian ditetapkan oleh Dewan Pimpinan Pusat setelah yang bersangkutan diberi teguran tertulis sebanyak 3 (tiga) kali atas rekomendasi Dewan Pimpinan Daerah dan atau Dewan Pimpinan Cabang[7].

C. Implementasi PWRI
PWRI salah satu perwujudan untuk mencari solusi dan siap menjadi garda terdepan bersama-sama rakyat, pemerintah untuk membangun Indonesia yang adil dan beradab. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga adalah sebagai alat dalam melaksanakan kebijakan-kebijakan organisasi yang memiliki aturan main layaknya kita sebagai warganegara[8]. Sehingga implementasi PWRI ini telah diatur dalam AD/ART yang telah disepakati bersama organisasi ini. PWRI berusaha memulai dari diri sendiri untuk mengembangkan kreatifitas para anggotanya sehingga dapat berguna di tengah-tengah masyarakat dalam setiap peristiwa keseharian yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Pengawasan dan pembinaan adalah program yang diadakan PWRI untuk meningkatkan Sumber Daya Manusia menjadi profesional[9]. Penerapan implementasi ini diharapkan wartawan dapat memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati kebhinekaan, mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar, melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum dan yang terakhir dapat memperjuangkan keadilan dan kebenaran[10]. PWRI juga memberikan perlindungan hukum yaitu jaminan perlindungan Pemerintah dan atau masyarakat kepada wartawan dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku[11]. Sehingga pelaksanaan badan pers ini sungguh membuat garda bagi para wartawan dalam menjalankan profesinya untuk mencari, menerima, dan menyampaikan berita atau informasi. Wartawan dapat secara bebas mengeluarkan pendapat tanpa gangguan, dan dapat menyampaikan buah pikirannya melalui media tanpa adanya beban, yang tentunya masih sesuai dengan koridor-koridor ketetapan AD/ART yang telah diatur.

D. Kegiatan PWRI
Seperti yang tertuang pada pembahasan sebelumnya, kegiatan yang dilaksanakan pada badan pers PWRI ini yaitu melaksanakan pendidikan untuk memberikan wawasan mengenai dunia pers, penataran dan bimbingan dan kegiatan-kegiatan lain seperti kegiatan sosial dan sebagainya. Hal ini juga dijelaskan dalam penjelasan atas UU Pers No 40 tahun 1999, Pers juga melaksanakan kontrol sosial sangat penting pula untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan baik korupsi, kolusi, nepotisme, maupun penyelewengan dan penyimpangan lainnya.


 Daftar Pustaka

Dewan Pimpinan Pusat Persatuan Wartawan Republik Indonesia. 2013. (AD/ART). Jakarta. 
Kementerian Republik Indonesia, 1999. Undang undang Pers No 40 Tahun 1999. (pdf). Jakarta.
Prasetyo, Andri. 2013. Pengertian Wartawan. (Online). Tersedia : http://manpras.blogspot.com. Diakses pada 20 Mei 2015.




[1] Mahasiswa S1 Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Brawijaya
[2] Prasetyo, 2013. 
[3] Dewan Pimpinan Pusat Persatuan Wartawan Republik Indonesia, 2013: 4
[4] Ibid, hal 5
[5] Ibid
[6] Ibid, hal 18
[7] Ibid, hal 20
[8] Ibid, hal 2
[9] Ibid, hal 3
[10] UU Pers Nomor 40 Tahun 1999
[11] Ibid, Pasal 8