Proses
perlawanan terhadap kekuasaan penindas rakyat orde baru;
Tentang
Sebuah Gerakan Karya Wiji Thukul (Kajian Stilistika)
Oleh :
Herlingga.HD[1]
aku
berpikir tentang gerakan
tapi
mana mungkin
kalau
diam?
(Tentang
sebuah gerakan, 1989)
A. Pengantar
Puisi-puisi
karya Wiji thukul mencoba untuk menguak kesewenang-wenangan pemerintah, menguak
kehidupan yang terjadi di masyarakat tempat pengarang tinggal serta lingkungan
sekitarnya. Membuka kehidupan yang terjadi dalam masyarakat akibat tindakan
kelompok-kelompok pemegang kuasa pada masa Orde Baru. Dari kumpulan puisi
ini pun, terdeteksi bahwa sebagian besar rakyat telah menjadi korban
(termasuk pengarang) atas tindakan otoriter pemerintahan Orde
Baru. Hal tersebut yang mengakibatkan permasalahan sosial, seperti yang
telah ditulis oleh Wiji Thukul. Puisi-puisi Wiji Thukul adalah balutan karya
yang lahir lewat rahim fiksi melalui perkawinan realitas yang menyakitkan dan
sewenang-wenang.
Wiji Thukul, muncul dalam
sebuah ruang yang khusus di tengah wacana kekerasan yang menekannya selama
puluhan tahun. Ia adalah seorang yang gigih dalam memperjuangkan
gagasan-gagasannya maupun dalam memperjuangkan hidup dan kebenaran-kebenaran
yang diyakininya. Dan, itu semua bukan ditujukan semata-mata untuk dirinya
melainkan juga untuk memperjuangkan “pembebasan” bagi bangsanya. Bebas dari
kemiskinan, tekanan, dan penindasan yang telah dilakukan oleh bangsanya
sendiri. Dalam perjuangannya ini ia menggunakan caranya sendiri, yaitu dengan
menggunakan ‘senjata kata-kata’. Kekerasan tidak dibalasnya dengan kekerasan
melainkan dikritisi dengan sebuah kecerdasan yang dirangkai dalam kata-kata
sederhana, lugas, dan tegas namun tetap indah dan puitis. Dalam proses
kreatifnya itu, puisi menjadi media yang mampu menyampaikan permasalahan dan
mewakili suara kaum tertindas pada umumnya[2].
Rezim Orde Baru cukup jauh dari sifat demokratis, karena peran serta rakyat
dalam pengambilan keputusan negara sangat dibatasi. Di atas segalanya, hanya
satu orang, yakni Presiden Soeharto yang memimpin Orde Baru selama lebih dari
tiga dekade dengan kekuasaan yang sangat besar[3].
Selama periode 1988–1995, pemerintah dapat dikatakan telah melaksanakan politik
yang tertutup karena sedikit pun tak memberikan ruang dan peluang bagi refleksi
dan koreksi atasnya, politik resmi pun berjalan bagaikan robot[4].
Orde Baru telah meninggalkan sisa-sisa kenangan yang kelam. Kasus
penggusuran tanah di berbagai daerah telah menjadikan rakyat menjadi korban
gusuran dengan motif umum, antara lain untuk mendirikan pabrik, pangkalan
militer, dan waduk. Selain itu, yang tak kalah hebatnya adalah mengenai
korupsi yang dilakukan Soeharto beserta kroni-kroninya[5]. Dari
gambaran di atas kita dapat menemukan bahwa Orde Baru telah banyak
menyengsarakan rakyat dan berusaha mematikan suara bangsa ini. Dari situ kita
dapat melihat bahwa Orde Baru telah melakukan ‘kekerasan’ terhadap bangsa ini
dalam kurun waktu yang cukup lama (32 tahun). Rakyat menjadi korban dan selalu
berada di bawah.
Salah
satu puisi yang dibuat oleh Wiji Thukul yang berjudul tentang sebuah gerakan
merupakan ungkapan untuk membuka pandangan masyarakat agar melakukan pergerakan
atas tindakan otoriter pemerintahan Orde baru. Materi-materi yang dituliskan
dalam puisi tersebut dapat diketahui, bahwa ada unsur tarik menarik antara
kepentingan rakyat dan penguasa. Sedangkan, penguasa pada saat itu, melakukan
praktik otoriter kekuasaan, sehingga rakyat pun tidak bisa hidup secara
normal, bahkan selalu diganggu keberadaannya[6].
Dari permasalahan permasalahan tersebut Wiji Thukul ingin melakukan perlawanan
dengan salah satu cara yaitu menyuarakan kritiknya menggunakan alat yang berupa
puisi.
B.
Analisis Puisi Tentang sebuah gerakan karya Wiji Thukul : Kajian Stilistika
Puisi Tentang sebuah
gerakan (kemudian disingkat TSG) karya Wiji Thukul (WT) ini dibuat saat masa
pemerintahan orde baru tahun 1989 di Solo).
tadinya aku pengin bilang
aku butuh rumah
tapi lantas kuganti
dengan kalimat:
setiap orang butuh tanah
ingat: setiap orang!
aku berpikir tentang
sebuah gerakan
tapi mana mungkin
aku nuntut sendirian?
aku bukan orang suci
yang bisa hidup dari sekepal nasi
dan air sekendi
aku butuh celana dan baju
untuk menutup kemaluanku
aku berpikir tentang gerakan
tapi mana mungkin
kalau diam?
(Puisi Tentang sebuah
gerakan, 1989)
Stilistika adalah ilmu
yang meneliti penggunaan bahasa dan gaya bahasa didalam karya sastra[7]. Sehingga stilistika digunakan untuk mempelajari gaya
berbahasa, penyampaian gagasan dan untuk mempelajari penyampaian style atau gaya bahasa yang digunakan
oleh pengarang. Dalam stilistika terdapat berbagai unsur yang terkandung.
Pembahasan tulisan ini terkait mengenai Simbol dalam karya sastra.
Istilah bentuk simbolik dapat
dihubungakan dengan istilah figure.
Figure menyangkut perihal penataan, pembentukan pengurutan unsur-unsur
kebahasaan dalam penyampaian gagasan[8].
Sebab itu sebagaimana bentuk simbolik, figure
akhirnya juga terkait dengan bentuk pengolahan gagasan, pemilihan kata,
kombinasikata-kata dalam konstruksi tertentu, pengulangan, dan pemindahan ciri
semantis sebagaimana terdapat dalam metafora. Du Marsaus dalam hal ini
mengklasifikasikan figure dalam
bentuk diagram sebagai berikut.
![]() |
1. Figures
of thought
Merujuk
pada cara menampilkan gagasan secara lebih kaya dan mendalam. Dalam
puisi TSG Karya Wiji Thukul, isi atau makna yang ingin disampaikan merupakan
respon sosial pengarang terhadap ketidakadilan sosial yang terjadi di
masyarakat dan sebagai penutup puisi ini penyair menyerukan pemberontakan dan
perlawanan terhadap kesewenang-wenangan pemerintah. Terlihat dari
penggalan puisi WT, aku berpikir tentang
gerakan, tapi mana mungkin, kalau diam?. WT menyampaikan protes
terhadap kebijakan pemerintah dan menyerukan pada setiap orang untuk melakukan
gerakan atas kesewenang-wenangan pemerintahan orde baru. aku butuh rumah, tapi lantas kuganti, dengan kalimat: setiap
orang butuh tanah. WT tampak menginginkan puisinya dapat dijadikan bahan
perenungan oleh siapapun yang membacanya. WT cenderung menuliskan pengalaman
sehari-hari yang sangat dekat dan melekat dengan kehidupan nyata.
Dari
puisi TSG juga terlihat bahwa WT memikirkan sebuah gerakan yang harus dilakukan
atas kesewenang-wenangan yang terjadi pada pemerintahan orde baru. WT mencoba
membangkitkan semangat dan memberikan propaganda untuk melawan penguasa. WT
menyerukan agar rakyat-rakyat yang tertindas untuk bergabung bersama-sama
melawan penguasa. Dalam perspektif ini WT beranggapan bahwa ketika meraka
bersatu penguasa akan lebih takut. Aku
berpikir tentang sebuah gerakan tapi mana mungkin aku nuntut sendirian? Penggalan
puisi tersebut tidak hanya menyuarakan kesengsaraan rakyat jelata, tetapi juga
membangkitkan semangat untuk melawan ketidakadilan itu. Sajak-sajaknya bukan
semata-mata hardikan pada kekuasaan, tetapi juga jalan keluar bagi orang yang
di tindas, jalan yang tidak disukai penguasa yakni jalan melawan.
2. Figures of
words
Figures
of words menyangkut perihal pemilihan, pembentukan,
penggunaan, dan penghubungan unsur kebahasaan berupa kata-kata dalam berbagai
tatarannya. Terdapat beberapa jenis figures
of words yang meliputi figures
of diction, figures of contruction, figures as repetition
dan figures of tropes.
a.
Figures
of diction
Merupakan
bentuk pemilihan kata-kata yang dapat membuahkan gagasan tertentu,
nuansa pengertian lain, susasana tertentu, maupun berbagai
kemungkinan efek lain sesuai dengan intensi penuturnya.
Sehinggga pemilihan kata dalam membuat puisi harus dilakukan secara padat, selaras
dan cermat oleh pengarang sehingga menimbulkan nuasa yang imajinatif[9].
Puisi Tentang sebuah gerakan karya Wiji Thukul ini dilatarbelakangi oleh dunia
orde baru yang menceritakan sebuah perjuangan pengarang untuk melakukan
perubahan terhadap masa nya yang menjadi kecenderungan tematik puisi tersebut
adalah semangat nasionalisme. Puisi diatas menggambarkan bagaimana seorang
tokoh WT berasal masyarakat kelas bawah yang memperjuangkan kebebasan
masyarakat di tanah airnya. WT dalam puisi TSG banyak memanfaatkan kata
konotatif. Pemanfaatan kata konotatif ataupun bahasa kias sengaja dilakukan
untuk menyatakan sesuatu secara tidak langsung[10].
Hal tersebut dapat dilihat pada kalimat berikut, aku bukan orang suci,
yang bisa hidup dari sekepal nasi, dan air sekendi, aku butuh celana dan baju,
untuk menutup kemaluanku. Simbol sekepal nasi dan air sekendi menandakan
bahwa manusia tidak hanya membutuhkan hal tersebut untuk hidup, hak-hak lainnya
juga diperlukan untuk menunjangnya. WT menggunakan simbol-simbol yang ada dalam
masyarakat dengan cukup cermat dan bukan berarti harus dibuat-buat, melainkan
menggunakan simbol yang telah ada dan hidup dalam masyarakatnya (orang suci,
sekepal nasi, air sekendi). Simbol-simbol tersebut muncul dari keprihatinan
dasar dan pengalaman masyarakat yang hak nya kurang diperhatikan. Akhirnya,
puisinya tampak begitu sederhana, tegas, dan lugas dan justru di situlah letak
kekuatannya. Pembebasan terjadi melalui simbol, yang mengungkap makna dan
menunjukkan realita yang sesungguhnya bahwa manusia hidup tidak hanya
membutuhan makan dan minum, tetapi juga membutuhkan hal lain seperti pakaian
dan sebagainya. Sehingga simbol simbol dari kiasan yang digunakan WT tergolong
sederhana karena memang untuk memudahkan pembaca dalam memaknai puisi yang dituliskannya.
Karena pada dasarnya puisi ini ditujukan untuk pembaca pada kalangan rakyat
kecil sehingga penggunaan diksi pada kalimat puisi ini menggunakan pemakaian
diksi yang sederhana agar mudah untuk dipahami.
setiap orang butuh tanah
ingat:
setiap orang!
Kelugasan
kalimat dalam setiap baitnya timbul karena WT ingin permasalahan permasalahan
yang diangkat mampu menyadarkan dan mewakili suara kaum tertindas pada
umumnya untuk bisa bangkit dan melakukan sebuah pergerakan baru. WT
dengan berani dan penuh dengan semangat tak tanggung-tanggung mengajak rakyat
atau siapapun itu untuk menentang para penguasa. Jadi ketepatan dan kesesuaian kata tersebut sangat
penting dalam suatu karya sastra agar pesan yang disampaikan penulis dapat
dimengerti oleh pembaca.
b.
Figures of contruction
Figures
ini merupakan
cara menyusun satuan unsur kebahasaan berupa kalimat atau satuan unsur yang
dapat dianalogikan sebagai saran berupa kalimat atau
satuan unsur yang dapat dianalogikan sebagai kalimat. Bentuk
yang ekspresif dan kepadatan kalimat sangat diperlukan dalam karya sastra
khususnya puisi. Hal itu mengingat bahwa dalam puisi hanya inti gagasan atau
penggalan batin yang dikemukakan. Hanya yang penting substansi saja yang
dikemukakan dalam puisi. Oleh karena itu hubungan antarkalimat dinyatakan
secara impliisit agar kalimat-kalimat dalam baris puisi benar-benar padat,
plastis, efektif dan imajinatif. Gaya demikian menurut Pradopo disebut gaya
implisit[11].
Kepadatan
gaya kalimat yang implisit terdapat dalam bait 1 yang bisa disisipkan kata “yaitu”,
“kawan” dan “sebuah” supaya lebih jelas maksud yang akan disampaikan penyair.
Akan tetapi kalimat itu sengaja diimplisitkan penyair, supaya lebih efektif dan
menarik pembaca.
tadinya aku pengin bilang (yaitu)
aku butuh rumah
tapi lantas kuganti
dengan kalimat : (sebuah)
setiap orang butuh tanah
ingat:
setiap orang!
Puisi TSG memiliki hubungan
fungsional yang saling mendukung antara satu bait puisinya. Setiap baitnya
memiliki kata hubung yang saling mendukung atau berhubungan untuk memperkuat
makna yang ingin disampaikan oleh WT.
c.
Figures
of repetition
Figures merujuk
pada gaya pengulangan, baik itu pengulangan kata frase, maupun kalimat. Dari
kalimat-kalimat puisi yang dimunculkan WT terdapat pengulangan kata yang
digunakan untuk memberikan penekanan terhadap makna yang akan disampaikan oleh
pengarang. Pada bait pertama kata setiap
orang dilakukan pengulangan kata, penekanan pada bait ini ditujukan untuk
setiap orang, keinginan dari setiap orang dalam tuntutan yang disampaikan WT
pada masa orde baru tersebut. Pengulangan kata selanjutnya pada kata gerakan, WT menekankan pada sebuah gerakan
dalam puisi ini, gerakan dimana untuk tidak tunduk atas kesewenang-wenangan
pemerintah pada masa itu. Pengulangan selanjutnya pada kata aku berpikir
tentang sebuah gerakan, disini WT menekankan pemikirannya untuk melakukan
gerakan yang dimana gerakan tersebut dapat memunculkan perlawanan terhadap
penindasan dimasa orde baru. WT merasa bahwa Orde Baru telah banyak
menyengsarakan rakyat dan berusaha mematikan suara bangsa ini. Sehingga dari
sini lah seharusnya kita melakukan gerakan untuk memperjuangkan hak hak
tersebut. Penggunaan pengulangan kata “gerakan” ini yang menjadi penekanan
utama dalam puisi TSG ini.
d.
Figures
of tropes
Figure ini merujuk
pada apa yang lazim disebut dengan metafora, sinekdok, metonimi, dan lain
sebagainya. Pada puisi TSG ini terdapat majas metafora, yaitu majas yang
menyamakan satu hal dengan tidak menggunakan kata-kata pembanding seperti :
bagai, sebagai, seperti, semisal, seumpama, laksana, ibarat, bak dan kata-kata
pembanding lainnya[12].
Hal ini terdapat pada bait aku bukan orang suci,
yang bisa hidup dari sekepal nasi, dan air sekendi, aku butuh celana dan baju,
untuk menutup kemaluanku. Kata seperti menandakan metafora. Adapun
majas ini berfungsi untuk membandingkan dua hal secara singkat dan mampu
menggambarkan apa yang sedang terjadi atau mampu menggambarkan apa yang
dibandingkan itu. WT dalam puisina TSG lebih cenderung menggambarkan secara
singkat makna yang ingin disampaikannya. Dengan kelugasan tersebut diharapkan
terjadinya perubahan pada pemerintahan orde baru.
Daftar
Pustaka
Imron,
Ali. 2012. Stilistika Teori, Metode, dan Aplikasi Pengkajian Estetika
Bahasa. Surakarta: CakraBooks.
Aminuddin.
1995. Stilistika: Pengantar Memahami
Bahasa Dalam Karya Satra. Semarang: IKIP Semarang Press.
Pabottingi,
Mochtar. 1998. Orde ’Baru’ dalam
Cengkeraman Asali (Online). Tersedia : http://www.tempointeraktif.
com/ang/min/02/45/kolom8.htm. Diakses pada 11 Mei 2015.
Satoto,
Sudiro. 1995. Stilistika. Surakarta:
STSI Surakarta.
Widyartono, Didin. 2011. Pengantar menulis dan membaca Puisi.
Malang: UM Press
Yapi,
Yoseph Taum. Wiji Thukul: Setitik Cahaya
Kebenaran (Online). Tersedia : http://
endonesa.net /articles. php? id=6&page=5. Diakses pada 11 Mei 2015.
[1]
Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Uniersitas Brawiajay 2012
[2] Yoseph
Yapi Taum, “Wiji Thukul: Setitik Cahaya Kebenaran” dalam http:// endonesa.net
/articles. php? id=6&page=5.
[3] Ibid
[4] Mochtar
Pabottingi, 1998, ”Orde ’Baru’ dalam Cengkeraman Asali”
dalamhttp://www.tempointeraktif. com/ang/min/02/45/kolom8.htm.
[5] Ibid
[6] Ibid
[7] Satoto,
1995:6
[8] Aminuddin, 1995: 173
[10] Imron,
2012:152
[11]
Ibid,hal 155
[12] Ibid,
hal 70
