Tentang sebuah gerakan
Karya Wiji Thukul
tadinya aku pengin bilang
aku butuh rumah
tapi lantas kuganti
dengan kalimat:
setiap orang butuh tanah
ingat: setiap orang!
aku berpikir tentang
sebuah gerakan
tapi mana mungkin
aku nuntut sendirian?
aku bukan orang suci
yang bisa hidup dari sekepal nasi
dan air sekendi
aku butuh celana dan baju
untuk menutup kemaluanku
aku berpikir tentang gerakan
tapi mana mungkin
kalau diam?
1989
Analisis Puisi
a. Pemilihan
Bunyi
1).
Asonansi
Menurut Sayuti
(2008:118) adalah persamaan bunyi pada vokal, hal ini merupakan pengulangan
bunyi vokal yang sama pada kata/perkataan yang berurutan dalam baris-baris
puisi. Pengulangan tersebut menimbulkan kesan kehalusan, kelembutan, kemerduan
atau keindahan bunyi.
Pada puisi Wiji Thukul “Tentang sebuah gerakan” pada
bait pertama larik kedua “aku butuh
rumah” pada larik ini menggunakan
pengulangan bunyi vokal u. Bait
pertama larik ketiga “tapi lantas kuganti” menggunakan pengulangan bunyi vokal i. Bait ketiga pada larik pertama dan
kedua juga menggunakan pengulangan bunyi vokal u “aku butuh
celana dan baju, untuk menutup kemaluanku”
2). Aliterasi
Menurut Sayuti (2008:118) adalah persamaan pada
berupa konsonan, yang merupakan pengulangan bunyi konsonan yang sama dalam
baris-baris puisi, biasanya pada awal kata/perkataan yang berurutan.
Pada puisi Wiji Thukul “Tentang sebuah gerakan” pada
larik kelima menggunakan aliterasi “setiap orang butuh tanah” karena menggunakan pengulangan bunyi konsonan h. Dalam hal ini pada puisi Wiji Thukul
“tentang sebuah gerakan” lebih didominasi pada bunyi Asonansi yang menimbulkan
kesan kemerduan dan keindahan bunyi.
3). Eufoni
Euphony
merupakan
salah satu ragam bunyi yang mampu menuansakan suasana keriangan, maupun gerak.
Hal ini seleras dengan Sayuti (2008:122) yang mengatakan bahwa efoni adalah
“suatu kombinasi vokal konsonan yang berfungsi melancarkan ucapan, mempermudah
pemahaman arti dan bertujuan untuk mempercepat irama baris yang mengandungnya”.
Pada hal ini bunyi euphony umumnya
berupa bunyi-bunyi vokal.
Pada puisi Wiji
Thukul terdapat bunyi eufoni pada bait ketiga yang menggunakan bunyi vokal i dan u.
aku bukan orang suci
yang bisa hidup dari sekepal nasi
dan air sekendi
aku butuh celana dan baju
untuk menutup kemaluanku
Pada bait ini Wiji Thukul ingin menyampaikan rasa kepedulian dan kasih
sayangnya pada masyarakat yang kurang mendapat perhatian. Pada bait ini Wiji
Thukul menggunakan eufoni karena untuk mempermudah arti dan bertujuan untuk
mempercepat irama ketika pembaca memaknai puisinya. Sehingga pesan-pesan yang
dituliskan dapat terbaca secara gamblang dan mudah dipahami oleh orang-orang
awam.
4). Kakafoni
Bunyi cacophony
umumnya berupa bunyi-bunyi konsonan yang berada di akhir kata. Sayuti (2008:124)
mengungkapkan fungsi ini untuk memperlambat irama baris yang mengandungnya.
Sehingga berfungsi untuk menghalangi kelancaran ucapan.
tadinya aku pengin bilang
aku butuh rumah
tapi lantas kuganti
dengan kalimat:
setiap orang butuh tanah
ingat: setiap orang!
aku berpikir tentang
sebuah gerakan
tapi mana mungkin
aku nuntut sendirian?
aku bukan orang suci
yang bisa hidup dari sekepal nasi
dan air sekendi
aku butuh celana dan baju
untuk menutup kemaluanku
aku berpikir tentang gerakan
tapi mana mungkin
kalau diam?
Pada puisi Wiji Thukul ini dominan bunyi Kakafoni yang terdapat pada bait
pertama yang menggunakan bunyi konsonan ng/h/t. Bait kedua bunyi konsonan ng/n
dan bait ketiga n/m. Wiji Thukul menggunakan bunyi kakafoni karena dalam
puisinya ini melambangkan ketertekanan batin dan kesedihan terhadap mesyarakat
yang kurangnya akan perhatian. Sehingga dalam bait-bait ini digunakan untuk
memperlambat irama sehingga makna yang terkandung bisa diresapi secara mendalam
oleh pembaca.
b. Citraan
Citraan
merupakan gambaran yang timbul dalam khayal atau angan-angan pembaca puisi atau
karya sastra umum. Gambaran dalam angan-angan seperti itu sengaja diupayakan
oleh penyair agar hal-hal yang semula abstrak menjadi konkret, agar menimbulkan
suasana khusus dan mengesankan (Suharianto, 2005 : 40). Dalam puisi Wiji Thukul
“Tentang sebuah gerakan” ini terdapat beberapa citraan yang dipakai,
diantaranya adalah :
1).
Citraan Penglihatan, yaitu citraan yang
timbul oleh penglihatan atau berhubungan dengan indra penglihatan. Pada puisi
Wiji Thukul terdapat pencitraan penglihatan yang terdapat pada bait :
tadinya aku pengin bilang
aku butuh rumah
tapi lantas kuganti
dengan kalimat:
setiap orang butuh tanah
ingat: setiap orang!
------
aku butuh celana dan baju
untuk menutup kemaluanku
Pada bait ini membutuhkan Wiji
Thukul menggunakan indera penglihatan dalam menyampaikan puisinya sehingga
menjadi suasana yang konkret dapat dilihat oleh pembaca.
2).
Citraan Pendengaran, yaitu
berhubungan dengan usaha memancing bayangan pendengaran guna membangkitkan
suasana tertentu dan biasanya juga berhubungan dengan
penguraian ataupun penyebutan tentang bunyi.
aku berpikir tentang gerakan
tapi mana mungkin
kalau diam?
Pada larik terakhir terdapat kata “diam”
dalam hal ini membutuhkan proses pendengaran untuk mengetahui hasil dari kata
diam yang diutarakan pada puisi. Sehingga proses ini pengarang melibatkan
citraan pendengaran didalamnya.
3).
Citraan gerak, yaitu gambaran tentang
sesuatu yang seolah-olah dapat bergerak. Dapat juga gambaran gerak pada
umumnya.
aku berpikir tentang
sebuah gerakan
tapi mana mungkin
aku nuntut sendirian?
Pada kalimat
sebuah gerakan dan aku
nuntut sendirian menampilkan citraan gerak dimana pengarang menginginkan
sebuah usaha untuk dilakukan pembaca agar dapat melakukan sebuah perubahan.
4). Citraan intelektual, yaitu citraan
yang dihasilkan oleh asosiasi-asosiasi intelektual atau pemikiran.
Pada
keseluruhan puisi ini, menggambarkan pemikiran Wiji Thukul yang menginginkan
sebuah perubahan dimana masyarakat yang kurang diperhatikan agar dapat
diperhatikan. Dalam hal ini pengarang menggunakan citraan intelektual yang mana
nantinya pemikiran ini digunakan untuk memberikan perubahan pada masanya.
c. Diksi
Pilihan kata atau diksi pada dasarnya adalah hasil dari upaya memilih kata tertentu
untuk dipakai dalam kalimat, alenia, atau wacana. Hal ini dejelaskan pula pada
aminudin (1987, dalam Widyartono, 2011:11) Pemilihan kata untuk mengungkapkan
suatu gagasan. Sehinggga pemilihan kata dalam membuat puisi harus dilakukan
secara padat, selaras dan cermat oleh pengarang sehingga menimbulkan nuasa yang
imajinatif. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(2002:264) diksi adalah pilihan kata yang tepat dan selaras (dalam
penggunaannya) untuk mengungkapkan gagasan sehingga diperoleh efek tertentu (seperti
yang diharapkan). Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa diksi adalah
pilihan kata yang dianggap tepat untuk mewakili sebuah pikiran atau gagasan
seseorang.
Puisi Tentang sebuah gerakan karya Wiji Thukul ini
dilatarbelakangi oleh dunia orde baru yang menceritakan sebuah perjuangan
pengarang untuk melakukan perubahan terhadap masa nya yang menjadi
kecenderungan tematik puisi tersebut adalah semangat nasionalisme. Puisi diatas
menggambarkan bagaimana seorang tokoh Wiji Thukul memperjuangkan kebebasan
masyarakat di tanah airnya. Dalam puisi tersebut terdapat ungkapan tadinya aku pengin bilang, hal ini
pengarang bukan sengaja dalam menggunakan kalimat sederhana melainkan untuk
mempermudah dalam pemaknaan terhadap puisi yang dituliskannya. Penggunaan diksi
pada kalimat lainnya juga mencerminkan bahwa diksi yang dipakai dalam puisi ini
menggunakan pemakaian diksi yang sederhana agar mudah untuk dipahami.
setiap orang butuh tanah
ingat: setiap orang!
Jadi ketepatan dan kesesuaian kata tersebut sangat penting dalam
suatu karya sastra agar pesan yang disampaikan penulis dapat dimengerti oleh
pembaca. Pada hal ini Wiji Thukul mengkhususkan puisinya mudah dipahami untuk
kalangan menengah kebawah.
d. Gaya Bahasa
Bahasa kiasan atau
gaya Bahasa merupakan alat yang dipergunakan penyair untuk mencapai aspek
kepuitisan atau sebuah kata yang mempunyai arti secara konotatif tidak secara
sebenarnya. Dalam penulisan sebuah sajak bahasa kiasan ini digunakan untuk
memperindah tampilan atau bentuk muka dari sebuah sajak. Bahasa kiasan
dipergunakan untuk memperindah sajak-sajak yang ditulis seorang penyair. Pada
puisi Tentang sebuah gerakan karya Wiji Thukul ini terdapat beberapa gaya
Bahasa diantaranya :
1).
Repitisi, yaitu pengulangan bunyi, suku
kata, kata, atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan
dalam sebuah konteks yang sesuai. Dalam puisi ini terdapat dalam bait:
aku berpikir tentang
sebuah gerakan
tapi mana mungkin
aku nuntut sendirian?
----
aku berpikir tentang gerakan
tapi mana mungkin
kalau diam?
Pada puisi ini pengarang ingin
menekankan pada kalimat aku berpikir
tentang sebuah gerakan, tapi mana mungkin. Gaya Bahasa yang digunakan untuk
menitik beratkan pada sebuah pemikirannya mengenai bagaimana dia menyampaikan
maknanya sehingga pengarang berusaha untuk mengulanginya agar maknanya dapat
tersampaikan.
2). Simile atau Persamaan yaitu perbandingan
yang bersifat eksplisit, yaitu langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal
lain. Pada puisi terdapat dalam bait:
aku butuh rumah
tapi lantas kuganti
dengan kalimat:
setiap orang butuh tanah
ingat: setiap orang!
Pengarang
memaparkan mengenai kebutuhan yaitu tentang rumah dan tanah. Dalam hal ini
pengarang melukiskan kebutuhan yang dibutuhkan oleh masyarakat pada masa itu
sehingga pengarang menampilkan majas simile untuk membandingan sesuatu yang
dianggapnya penting.
e. Feeling dan Tone
1). Feeling (Rasa) merupakan sikap penyair
terhadap pokok pikiran yang ditampilkannya. Setiap kehadiran pokok pikiran
tertentu dilatarbelakangi oleh sikap tertentu juga (Aminuddin, 2011:150).
Dilengkapi dengan pendapat Djajasudarma, (2013:4) menyatakan bahwa “aspek makna
perasaan berhubungan dengan sikap pembicara dengan situasi pembicara.
Pernyataan situasi yang berhubungan dengan aspek makna perasaan tersebut
digunakan kata-kata yang sesuai dengan situasinya.
aku berpikir tentang gerakan
tapi mana mungkin
kalau diam?
Dalam
puisi “Tentang sebuah gerakan”, perasaan yang diungkapkan oleh penyair yakni
perasaan kepedulian karena dalam puisi ini penyair mengungkapkan perasaan yang
menggambarkan kepeduliannya terhadap kebebasan rakyat pada masa orde baru dan
berusaha untuk memperjuangkannya.
2). Tone (Nada) merupakan aspek makna nada (tone) adalah “an attitude to his listener” (sikap penyair terhadap pembaca)
Djajasudarma, (2013:5). Dilengkapi dengan pendapat Aminuddin, (2011:150) tone merupakan sikap penyair terhadap
pembaca sejalan dengan pokok pikiran yang ditampilkannya.
Pada
puisi "Tentang sebuah gerakan", yaitu terasa lebih halus untuk
mengajak dalam menghayati setiap baris dalam puisi tersebut. Sikap penyair
terhadap pembaca puisi lebih menggambarkan masa bodoh. Penggunaan kata
"aku" menunjukkan bahwa puisi tersebut hanya mengungkapkan bagaimana
pengarang bisa membangkitkan semangat para rakyat yang hanya diam tanpa adanya
gerakan untuk kebebasan rakyat pada masa orde baru tersebut yang dilambangkan
oleh kata "aku" pada pengarangnya yang bertujuan untuk menyadarkan
bahwa jika dirinya sendiri tidak akan mampu untuk memuwujudkan kebebasan
tersebut. Sehingga pokok pikiran yang ditampilkan lebih pada nada yang
bersemangat untuk dapat merubah pemikiran rakyat yang hanya diam.
f. Pokok persoalan pada Puisi
Gambaran
totalitas makna pada puisi “Tentang sebuah gerakan”, bahwa sebuah perjuangan
tidak akan mampu berhasil jika dilakukan sendiri. Sehingga pada puisi ini
pengarang lebih menunjukkan pemikirannya agar rakyat tidak hanya diam tetapi
juga ikut membantu mendapatkan kebebasan yang belum didapatkan. Wiji Thukul
ingin menggambarkan hubungan kedekatan antara “aku” dengan masyarakat yang
lain, yang bertujuan untuk dapat memberikan stimulus perubahan bersama dengan
masyarakat yang lain.
Pada puisi ini, pengarang
ingin menggambarkan tema Nasionalisme, pengarang berusaha menyampaikan
pemikiran perubahan terhadap masa nya dengan menyampaikannya pada syair-syair
puisi yang diciptakan seperti pada puisi ini. Sehingga puisi ini menjadi cenderung
terhadap semangat nasionalisme.
.
Daftar
Pustaka
Aminuddin. 2011.
Pengantar Apresiasi Karya Sastra.
Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Djajasudarma,
Fatimah. 2013. Semantik 2 :
Relasi Makna, Paradigmatik, dan Derivasional. Bandung: PT Refika Aditama.
Pradopo,
R. D. 2012. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Pusat
Bahasa.2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Sayuti,
Suminto A. 2002. Berkenalan dengan Puisi.
Yogyakarta : Gama Media
Suharianto.
2009. Perngantar Apresiasi Puisi. Semarang: Bandungan Institute.
Suprapto. 1991. Kumpulan
Istilah dan Apresiasi Sastra. Surabaya. Indah.
Waluyo,J.Herman. 1987.
Teori dan Apresiasi Puisi. Surakarta : PT Gelora Aksara Pratama.
Widyartono,Didin.
2011. Pengantar menulis dan membaca Puisi.
Malang: UM Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar