Minggu, 13 April 2014

Analisis Puisi Tentang sebuah gerakan karya Wiji Thukul

Tentang sebuah gerakan
Karya Wiji Thukul

tadinya aku pengin bilang
aku butuh rumah
tapi lantas kuganti
dengan kalimat:
setiap orang butuh tanah
ingat: setiap orang!

aku berpikir tentang
sebuah gerakan
tapi mana mungkin
aku nuntut sendirian?

aku bukan orang suci
yang bisa hidup dari sekepal nasi
dan air sekendi
aku butuh celana dan baju
untuk menutup kemaluanku

aku berpikir tentang gerakan
tapi mana mungkin
kalau diam?

1989

 Analisis Puisi
a. Pemilihan Bunyi
1).   Asonansi
Menurut Sayuti (2008:118) adalah persamaan bunyi pada vokal, hal ini merupakan pengulangan bunyi vokal yang sama pada kata/perkataan yang berurutan dalam baris-baris puisi. Pengulangan tersebut menimbulkan kesan kehalusan, kelembutan, kemerduan atau keindahan bunyi.
Pada puisi Wiji Thukul “Tentang sebuah gerakan” pada bait pertama larik kedua “aku butuh rumah” pada larik ini menggunakan pengulangan bunyi vokal u. Bait pertama larik ketiga “tapi lantas kuganti” menggunakan pengulangan bunyi vokal i. Bait ketiga pada larik pertama dan kedua juga menggunakan pengulangan bunyi vokal u “aku butuh celana dan baju, untuk menutup kemaluanku
2).   Aliterasi
Menurut Sayuti (2008:118) adalah persamaan pada berupa konsonan, yang merupakan pengulangan bunyi konsonan yang sama dalam baris-baris puisi, biasanya pada awal kata/perkataan yang berurutan.
Pada puisi Wiji Thukul “Tentang sebuah gerakan” pada larik kelima menggunakan aliterasi “setiap orang butuh tanah” karena menggunakan pengulangan bunyi konsonan h. Dalam hal ini pada puisi Wiji Thukul “tentang sebuah gerakan” lebih didominasi pada bunyi Asonansi yang menimbulkan kesan kemerduan dan keindahan bunyi.
3).   Eufoni
Euphony merupakan salah satu ragam bunyi yang mampu menuansakan suasana keriangan, maupun gerak. Hal ini seleras dengan Sayuti (2008:122) yang mengatakan bahwa efoni adalah “suatu kombinasi vokal konsonan yang berfungsi melancarkan ucapan, mempermudah pemahaman arti dan bertujuan untuk mempercepat irama baris yang mengandungnya”. Pada hal ini bunyi euphony umumnya berupa bunyi-bunyi vokal.  
Pada puisi Wiji Thukul terdapat bunyi eufoni pada bait ketiga yang menggunakan bunyi vokal i dan u.
aku bukan orang suci
yang bisa hidup dari sekepal nasi
dan air sekendi
aku butuh celana dan baju
untuk menutup kemaluanku

Pada bait ini Wiji Thukul ingin menyampaikan rasa kepedulian dan kasih sayangnya pada masyarakat yang kurang mendapat perhatian. Pada bait ini Wiji Thukul menggunakan eufoni karena untuk mempermudah arti dan bertujuan untuk mempercepat irama ketika pembaca memaknai puisinya. Sehingga pesan-pesan yang dituliskan dapat terbaca secara gamblang dan mudah dipahami oleh orang-orang awam.
4).   Kakafoni
Bunyi cacophony umumnya berupa bunyi-bunyi konsonan yang berada di akhir kata. Sayuti (2008:124) mengungkapkan fungsi ini untuk memperlambat irama baris yang mengandungnya. Sehingga berfungsi untuk menghalangi kelancaran ucapan.
tadinya aku pengin bilang
aku butuh rumah
tapi lantas kuganti
dengan kalimat:
setiap orang butuh tanah
ingat: setiap orang!

aku berpikir tentang
sebuah gerakan
tapi mana mungkin
aku nuntut sendirian?

aku bukan orang suci
yang bisa hidup dari sekepal nasi
dan air sekendi
aku butuh celana dan baju
untuk menutup kemaluanku

aku berpikir tentang gerakan
tapi mana mungkin
kalau diam?

Pada puisi Wiji Thukul ini dominan bunyi Kakafoni yang terdapat pada bait pertama yang menggunakan bunyi konsonan ng/h/t. Bait kedua bunyi konsonan ng/n dan bait ketiga n/m. Wiji Thukul menggunakan bunyi kakafoni karena dalam puisinya ini melambangkan ketertekanan batin dan kesedihan terhadap mesyarakat yang kurangnya akan perhatian. Sehingga dalam bait-bait ini digunakan untuk memperlambat irama sehingga makna yang terkandung bisa diresapi secara mendalam oleh pembaca.


b. Citraan
Citraan merupakan gambaran yang timbul dalam khayal atau angan-angan pembaca puisi atau karya sastra umum. Gambaran dalam angan-angan seperti itu sengaja diupayakan oleh penyair agar hal-hal yang semula abstrak menjadi konkret, agar menimbulkan suasana khusus dan mengesankan (Suharianto, 2005 : 40). Dalam puisi Wiji Thukul “Tentang sebuah gerakan” ini terdapat beberapa citraan yang dipakai, diantaranya adalah :
1).   Citraan Penglihatan, yaitu citraan yang timbul oleh penglihatan atau berhubungan dengan indra penglihatan. Pada puisi Wiji Thukul terdapat pencitraan penglihatan yang terdapat pada bait :
           tadinya aku pengin bilang
aku butuh rumah
tapi lantas kuganti
dengan kalimat:
setiap orang butuh tanah
ingat: setiap orang!
           ------
aku butuh celana dan baju
untuk menutup kemaluanku
Pada bait ini membutuhkan Wiji Thukul menggunakan indera penglihatan dalam menyampaikan puisinya sehingga menjadi suasana yang konkret dapat dilihat oleh pembaca.
2). Citraan Pendengaran, yaitu berhubungan dengan usaha memancing bayangan pendengaran guna membangkitkan suasana tertentu dan biasanya juga berhubungan dengan penguraian ataupun penyebutan tentang bunyi.
aku berpikir tentang gerakan
tapi mana mungkin
kalau diam?

        Pada larik terakhir terdapat kata “diam” dalam hal ini membutuhkan proses pendengaran untuk mengetahui hasil dari kata diam yang diutarakan pada puisi. Sehingga proses ini pengarang melibatkan citraan pendengaran didalamnya.
3).   Citraan gerak, yaitu gambaran tentang sesuatu yang seolah-olah dapat bergerak. Dapat juga gambaran gerak pada umumnya.
              aku berpikir tentang
sebuah gerakan
tapi mana mungkin
aku nuntut sendirian?

Pada kalimat sebuah gerakan dan aku nuntut sendirian menampilkan citraan gerak dimana pengarang menginginkan sebuah usaha untuk dilakukan pembaca agar dapat melakukan sebuah perubahan.
4).   Citraan intelektual, yaitu citraan yang dihasilkan oleh asosiasi-asosiasi intelektual atau pemikiran.
        Pada keseluruhan puisi ini, menggambarkan pemikiran Wiji Thukul yang menginginkan sebuah perubahan dimana masyarakat yang kurang diperhatikan agar dapat diperhatikan. Dalam hal ini pengarang menggunakan citraan intelektual yang mana nantinya pemikiran ini digunakan untuk memberikan perubahan pada masanya.

c. Diksi  
Pilihan kata atau diksi pada dasarnya adalah hasil dari upaya memilih kata tertentu untuk dipakai dalam kalimat, alenia, atau wacana. Hal ini dejelaskan pula pada aminudin (1987, dalam Widyartono, 2011:11) Pemilihan kata untuk mengungkapkan suatu gagasan. Sehinggga pemilihan kata dalam membuat puisi harus dilakukan secara padat, selaras dan cermat oleh pengarang sehingga menimbulkan nuasa yang imajinatif. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002:264) diksi adalah pilihan kata yang tepat dan selaras (dalam penggunaannya) untuk mengungkapkan gagasan sehingga diperoleh efek tertentu (seperti yang diharapkan). Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa diksi adalah pilihan kata yang dianggap tepat untuk mewakili sebuah pikiran atau gagasan seseorang.
Puisi Tentang sebuah gerakan karya Wiji Thukul ini dilatarbelakangi oleh dunia orde baru yang menceritakan sebuah perjuangan pengarang untuk melakukan perubahan terhadap masa nya yang menjadi kecenderungan tematik puisi tersebut adalah semangat nasionalisme. Puisi diatas menggambarkan bagaimana seorang tokoh Wiji Thukul memperjuangkan kebebasan masyarakat di tanah airnya. Dalam puisi tersebut terdapat ungkapan tadinya aku pengin bilang, hal ini pengarang bukan sengaja dalam menggunakan kalimat sederhana melainkan untuk mempermudah dalam pemaknaan terhadap puisi yang dituliskannya. Penggunaan diksi pada kalimat lainnya juga mencerminkan bahwa diksi yang dipakai dalam puisi ini menggunakan pemakaian diksi yang sederhana agar mudah untuk dipahami.
setiap orang butuh tanah
ingat: setiap orang!
Jadi ketepatan dan kesesuaian kata tersebut sangat penting dalam suatu karya sastra agar pesan yang disampaikan penulis dapat dimengerti oleh pembaca. Pada hal ini Wiji Thukul mengkhususkan puisinya mudah dipahami untuk kalangan menengah kebawah.  

d. Gaya Bahasa
Bahasa kiasan atau gaya Bahasa merupakan alat yang dipergunakan penyair untuk mencapai aspek kepuitisan atau sebuah kata yang mempunyai arti secara konotatif tidak secara sebenarnya. Dalam penulisan sebuah sajak bahasa kiasan ini digunakan untuk memperindah tampilan atau bentuk muka dari sebuah sajak. Bahasa kiasan dipergunakan untuk memperindah sajak-sajak yang ditulis seorang penyair. Pada puisi Tentang sebuah gerakan karya Wiji Thukul ini terdapat beberapa gaya Bahasa diantaranya :
1).   Repitisi, yaitu pengulangan bunyi, suku kata, kata, atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai. Dalam puisi ini terdapat dalam bait:
aku berpikir tentang
sebuah gerakan
tapi mana mungkin
aku nuntut sendirian?
----
aku berpikir tentang gerakan
tapi mana mungkin
kalau diam?
               
Pada puisi ini pengarang ingin menekankan pada kalimat aku berpikir tentang sebuah gerakan, tapi mana mungkin. Gaya Bahasa yang digunakan untuk menitik beratkan pada sebuah pemikirannya mengenai bagaimana dia menyampaikan maknanya sehingga pengarang berusaha untuk mengulanginya agar maknanya dapat tersampaikan.
2).   Simile atau Persamaan yaitu perbandingan yang bersifat eksplisit, yaitu langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal lain. Pada puisi terdapat dalam bait:
aku butuh rumah
tapi lantas kuganti
dengan kalimat:
setiap orang butuh tanah
ingat: setiap orang!

Pengarang memaparkan mengenai kebutuhan yaitu tentang rumah dan tanah. Dalam hal ini pengarang melukiskan kebutuhan yang dibutuhkan oleh masyarakat pada masa itu sehingga pengarang menampilkan majas simile untuk membandingan sesuatu yang dianggapnya penting.

e. Feeling dan Tone
1).   Feeling (Rasa) merupakan sikap penyair terhadap pokok pikiran yang ditampilkannya. Setiap kehadiran pokok pikiran tertentu dilatarbelakangi oleh sikap tertentu juga (Aminuddin, 2011:150). Dilengkapi dengan pendapat Djajasudarma, (2013:4) menyatakan bahwa “aspek makna perasaan berhubungan dengan sikap pembicara dengan situasi pembicara. Pernyataan situasi yang berhubungan dengan aspek makna perasaan tersebut digunakan kata-kata yang sesuai dengan situasinya.
           aku berpikir tentang gerakan
tapi mana mungkin
kalau diam?

Dalam puisi “Tentang sebuah gerakan”, perasaan yang diungkapkan oleh penyair yakni perasaan kepedulian karena dalam puisi ini penyair mengungkapkan perasaan yang menggambarkan kepeduliannya terhadap kebebasan rakyat pada masa orde baru dan berusaha untuk memperjuangkannya.  
2).   Tone (Nada) merupakan aspek makna nada (tone) adalah “an attitude to his listener” (sikap penyair terhadap pembaca) Djajasudarma, (2013:5). Dilengkapi dengan pendapat Aminuddin, (2011:150) tone merupakan sikap penyair terhadap pembaca sejalan dengan pokok pikiran yang ditampilkannya.
Pada puisi "Tentang sebuah gerakan", yaitu terasa lebih halus untuk mengajak dalam menghayati setiap baris dalam puisi tersebut. Sikap penyair terhadap pembaca puisi lebih menggambarkan masa bodoh. Penggunaan kata "aku" menunjukkan bahwa puisi tersebut hanya mengungkapkan bagaimana pengarang bisa membangkitkan semangat para rakyat yang hanya diam tanpa adanya gerakan untuk kebebasan rakyat pada masa orde baru tersebut yang dilambangkan oleh kata "aku" pada pengarangnya yang bertujuan untuk menyadarkan bahwa jika dirinya sendiri tidak akan mampu untuk memuwujudkan kebebasan tersebut. Sehingga pokok pikiran yang ditampilkan lebih pada nada yang bersemangat untuk dapat merubah pemikiran rakyat yang hanya diam.
 
f. Pokok persoalan pada Puisi
Gambaran totalitas makna pada puisi “Tentang sebuah gerakan”, bahwa sebuah perjuangan tidak akan mampu berhasil jika dilakukan sendiri. Sehingga pada puisi ini pengarang lebih menunjukkan pemikirannya agar rakyat tidak hanya diam tetapi juga ikut membantu mendapatkan kebebasan yang belum didapatkan. Wiji Thukul ingin menggambarkan hubungan kedekatan antara “aku” dengan masyarakat yang lain, yang bertujuan untuk dapat memberikan stimulus perubahan bersama dengan masyarakat yang lain.
Pada puisi ini, pengarang ingin menggambarkan tema Nasionalisme, pengarang berusaha menyampaikan pemikiran perubahan terhadap masa nya dengan menyampaikannya pada syair-syair puisi yang diciptakan seperti pada puisi ini. Sehingga puisi ini menjadi cenderung terhadap semangat nasionalisme.


.
Daftar Pustaka
Aminuddin. 2011. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Djajasudarma, Fatimah. 2013. Semantik 2 : Relasi Makna, Paradigmatik, dan Derivasional. Bandung: PT Refika Aditama.
Pradopo, R. D. 2012. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Pusat Bahasa.2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Sayuti, Suminto A. 2002. Berkenalan dengan Puisi. Yogyakarta : Gama Media
Suharianto. 2009. Perngantar Apresiasi Puisi. Semarang: Bandungan Institute.
Suprapto. 1991. Kumpulan Istilah dan Apresiasi Sastra. Surabaya. Indah.
Waluyo,J.Herman. 1987. Teori dan Apresiasi Puisi. Surakarta : PT Gelora Aksara Pratama.
Widyartono,Didin. 2011. Pengantar menulis dan membaca Puisi. Malang: UM Press

Tidak ada komentar:

Posting Komentar